Bahasa dan budaya Jawa pada masyarakat Surabaya

Abstrak
The relationship of language and culture that are coordinated, there are two things to note. First, some say that the relationship of language and culture as conjoined twins, two closely related phenomena, such as the relationship between the side by side one another yag metal coin. So this argument saying the language and culture are two different phenomena, but the relationship is so close that it can not be separated. The second thing that is interesting in this is that there is a coordinated relationship yag highly controversial hypothesis, the hypothesis of two renowned linguist, namely Edward Sapir and Benjamin Lee Whorf. Within this hypothesis stated that language is not only to determine the pattern of culture, but also determine the manner and the way the human mind, and therefore influence the behavior follow. In other words, a nation whose language is different from other nations, will have shades of culture and different way of thinking.
In the life of people in Surabaya, refined Javanese (krama) is rarely used. In Surabaya-speaking communities use the typical Javanese dialect commonly known as boso Suroboyoan. Even the typical Surabaya performing arts, such as the play uses boso Suroboyoan ludruk. The Javanese are generally considered dialects Suroboyoan is the coarsest, but actually it shows assertiveness, straightforward and forthright. Attitude strings attached glorified Javanese, does not apply in life Arek Suroboyo. The purpose of this study to determine why the Javanese language Suroboyoan considered the coarsest and to determine the cause of the extinction of Javanese culture in the lives of people in Surabaya.

Keyword : Relationship of language and culture, Language and culture of Java, The language Surabaya.

A.    Pendahuluan
Bahasa cenderung terlibat dalam semua aspek kebudayaan, keadaan ini mengakibatkan hubungan antara bahasa dengan budaya terjadi sedemikian erat. Hal-hal yang dapat menjadi bukti hubungan diantara dua aspek tersebut misalnya : bahasa dapat digunakan sebagai sarana pengembang budaya, bahasa menjadi cermin dan wujud kebudayaan masyarakatnya, dan seseorang belajar budaya melalui bahasanya. Jelasnya secara filogenetik (hubungan jenis) bahasa adalah bagian atau unsur kebudayaan (Koentjaraningrat, 1985:2), namun secara ontogenetic (terjadinya dalam perorangan) justru sebaliknya, yaitu seseorang belajar budaya lewat bahasa.
Bahasa Jawa merupakan budaya lokal yang sudah selayaknya dilestarikan dan mendapat perhatian lebih dari generasi Suku Jawa. Hal itu dikarenakan bahasa Jawa sudah menjadi salah satu simbol jati diri Suku Jawa yang tidak akan dimiliki oleh budaya suku lain di Indonesia. Saat ini kebudayaan lokal tiap daerah sudah mulai pudar termasuk bahasa Jawa, ini disebabkan semakin minimnya pengguna bahasa Jawa di Pulau Jawa. Akibatnya semakin banyak generasi Suku Jawa yang kehilangan identitasnya, yaitu tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Tuntutan era globalisasi memposisikan bahasa Jawa dipandang sebelah mata oleh generasi Suku Jawa. Oleh karena itu hal ini juga berdampak pada memudarnya etika sopan santun dalam budaya Jawa.
Dalam kehidupan masyarakat Surabaya, bahasa Jawa halus (krama) sudah jarang dipakai. Dalam berbahasa masyarakat Surabaya menggunakan dialek khas bahasa Jawa yang biasa dikenal dengan boso Suroboyoan. Bahkan pertunjukkan kesenian khas Surabaya, seperti ludruk pementasannya menggunakan boso Suroboyoan. Orang Jawa pada umumnya menganggap dialek Suroboyoan adalah yang terkasar, namun sebenarnya itu menujukkan sikap tegas, lugas, dan terus terang. Sikap basa basi yang diagung-agungkan orang Jawa, tidak berlaku dalam kehidupan Arek Suroboyo. Budaya Jawa sekarang sudah tidak diminati oleh masyarakat Surabaya, contohnya pementasan ludruk jarang sekali ditemui. Padahal ludruk menjadi budaya khas Surabaya.
Dalam penelitian ini, penulis menemukan beberapa masalah. Yang pertama, mengapa bahasa Suroboyoan dianggap bahasa Jawa yang terkasar?. Yang kedua, apa penyebab punahnya budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat Surabaya?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan bahasa Suroboyoan dianggap bahasa Jawa yang terkasar dan untuk mengetahui penyebab punahnya budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat Surabaya.

B.     Teori
Ada berbagai teori megenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, dimana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Namun, ini bukanlah satu-satunya kosep yang ada dibicarakan orang. Sebab disamping itu ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw (1985) menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia didalam masyarakat, maka bahasa adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, ada yang mengatakan hubungan bahasa dan budaya itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terkait erat, seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yag lain pada sekeping mata uang logam. Jadi pendapat ini mengatakan bahasa dan budaya merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yag sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Karena itu hipotesis ini dikenal dengan nama Sapir-Whorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa. Didalam hipotesis ini dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, oleh karena itu mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali.

C.    Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif tentang hubungan bahasa dan budaya Jawa dalam masyarakat Surabaya. Penelitian ini mengkaji penyebab punahnya bahasa Jawa dalam masyarakat Surabaya, juga mengulas anggapan bahwa bahasa Suroboyoan adalah bahasa Jawa yang terkasar.
Penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara karena objek yang diteliti diperoleh saat interaksi antar warga dan data mengenai bahasa Suroboyoan dan budaya Jawa diperoleh melalui observasi dan wawancara langsung dengan warga kampung Gading Karya I Surabaya.
a.       Metode observasi
Menurut Djojosuroto dkk. (2004:46) “Metode observasi digunakan dalam rangka mengumpulkan data dalam suatu penelitian yang merupakan hasil perbuatan jiwa secara aktif dan penuh perhatian untuk menyadari adanya sesuatu rangsangan tertentu yang diinginkan, atau suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala dengan jalan mengamati dan mencatat”.Metode ini juga digunakan dalam suatu studi yang disengaja dan sistematis tentang keadaan/fenomena sosial dan gejala-gejala dengan mengamati.
b.        Metode Wawancara
Dalam pengumpulan data, peneliti juga menggunakan metode wawancara mengenai bahasa dan budaya dalam masyarakat Surabaya. “Wawancara adalah dialog (tanya-jawab) yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari orang yang diwawancarai” (Djojosuroto dkk, 2004:46). Dalam penelitian ini peneliti memilih wawancara tidak berstuktur. Wawancara tidak terstuktur adalah wawancara secara bebas, yakni peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara tidak terstuktur ini digunakan agar memperoleh data atau jawaban dari responden secara mendalam dan sesuai dengan data yang diharapkan peneliti. Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai orang yang memberikan pertanyaan yang di sebut pewawancara, sedangkan informan dalam hal ini adalah guru yang berperan sebagi orang yang memberi jawaban atas pertanyaan yang di berikan oleh peneliti.

D.    Pembahasan
1.      Bahasa Surabaya dianggap bahasa Jawa yang terkasar
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
a.         Penggunaan bahasa Surabaya
Batas wilayah penggunaan dialek Suroboyoan diperkirakan sampai wilayah :
·       Wilayah Selatan
Perak (Kab. Jombang - bukan Tanjung Perak di Surabaya).
Wilayah Perak Utara masih menggunakan Dialek Surabaya, sementara Perak Selatan telah menggunakan Dialek Kulonan.
Malang (beberapa daerah di wilayah Kabupaten dan Kota Malang juga menggunakan dialek ini)
·       Wilayah Utara
Madura
Beberapa orang Madura dapat menggunakan Dialek ini secara aktif.
·       Wilayah Barat
Wilayah Gresik , Wilayah Lamongan
·       Wilayah Timur
Belum diketahui secara pasti, namun di sepanjang pesisir tengah Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo sampai Banyuwangi) Dialek ini juga banyak digunakan.
Akhir-akhir ini, banyak media lokal yang menggunakan dialek Surabaya sebagai bahasa pengantar mereka.
Orang Surabaya lebih sering menggunakan partikel "rek" sebagai ciri khas mereka. Partikel ini berasal dari kata "arek", yang dalam dialek Surabaya menggantikan kata "bocah" (anak) dalam bahasa Jawa standar. Partikel lain adalah "seh" (e dibaca seperti e dalam kata edan), yang dlam bahasa Indonesia setara dengan partikel "sih".
Orang Surabaya juga sering mengucapkan kata "titip" secara /tetep/, dengan i diucapkan seperti /e/ dalam kata "edan"; dan kata "tutup" secara /totop/ dengan u diucapkan seperti /o/ dalam kata "soto". Selain itu, vokal terbuka sering dibuat hambat, seperti misalnya: "kaya" (=seperti) lebih banyak diucapkan /k@y@?/ daripada /k@y@/, kata "isa" (=bisa) sering diucapkan /is@?/ daripada /is@/.

b.      Kosa kata
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan :
·       "Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
·       "kathuken" berarti "kedinginan" (bahasa Jawa standar: kademen);
·       "gurung" berarti "belum" (bahasa Jawa standar: durung);
·       "gudhuk" berarti "bukan" (bahasa Jawa standar: dudu);
·       "deleh" berarti "taruh/letak" (delehen=letakkan) (bahasa Jawa standar: dekek);
·       "kek" berarti "beri" (kek'ono=berilah) (bahasa Jawa standar: wenehi);
·       "ae" berarti "saja" (bahasa Jawa standar: wae);
·       "gak" berarti "tidak" (bahasa Jawa standar: ora);
·       "arek" berarti "anak" (bahasa Jawa standar: bocah);
·       "kate/kape" berarti "akan" (bahasa Jawa standar: arep);
·       "lapo" berarti "sedang apa" atau "ngapain" (bahasa Jawa standar: ngopo);
·       "opo'o" berarti "mengapa" (bahasa Jawa standar: kenopo);
·       "soale" berarti "karena" (bahasa Jawa standar: kerono);
·       "atik" (diucapkan "atek") berarti "pakai" atau "boleh" (khusus dalam kalimat"gak atik!" yang artinya "tidak boleh");
·       "longor/peleh" berarti "tolol" (bahasa Jawa standar: goblok/ndhableg);
·       "cek" ("e" diucapkan seperti kata "sore") berarti "agar/supaya" (bahasa Jawa standar: ben/supados);
·       "gocik" berarti "takut/pengecut" (bahasa Jawa standar: jireh);
·       "mbadok" berarti "makan" (sangat kasar) (bahasa Jawa standar: mangan);
·       "ciamik soro/mantab jaya" berarti "enak luar biasa" (bahasa Jawa standar: enak pol/enak banget);
·       "rusuh" berarti "kotor" (bahasa Jawa standar: reged);
·       "gae" berarti "pakai/untuk/buat" (bahasa Jawa standar: pakai/untuk=kanggo, buat=gawe);
·       "andhok" berarti "makan di tempat selain rumah" (misal warung);
·       "cangkruk" berarti "nongkrong";
·       "babah" berarti "biar/masa bodoh";
·       "matek" berarti "mati" (bahasa Jawa standar: mati);
·       "sampek/sampik" berarti "sampai" (bahasa Jawa standar: nganti);
·       "barekan" berarti "lagipula";
·       "masiyo" berarti "walaupun";
·       "nang/nak" berarti "ke" atau terkadang juga "di" (bahasa Jawa standar: menyang);
·       "mari" berarti "selesai";(bahasa Jawa standar: rampung); acapkali dituturkan sebagai kesatuan dalam pertanyaan "wis mari tah?" yang berarti "sudah selesai kah?" Pengertian ini sangat berbeda dengan "mari" dalam Bahasa Jawa Standar. Selain petutur Dialek Suroboyoan, "mari" berarti "sembuh"
·       "mene" berarti "besok" (bahasa Jawa standar: sesuk);
·       "maeng" berarti tadi.
·       "koen" (diucapkan "kon") berarti "kamu" (bahasa Jawa standar: kowe). Kadangkala sebagai pengganti "koen", kata "awakmu" juga digunakan. Misalnya "awakmu wis mangan ta?" (Kamu sudah makan kah?") Dalam bahasa Jawa standar, awakmu berarti "badanmu" (awak = badan)
·       "lading" berarti "pisau" (bahasa Jawa standar: peso);
·       "lugur" berarti "jatuh" (bahasa Jawa standar: tiba);
·       "dhukur" berarti "tinggi" (bahasa Jawa standar: dhuwur);
·       "thithik" berarti "sedikit" (bahasa Jawa standar: sithik);
·       "temen" berarti "sangat" (bahasa Jawa standar: banget);
·       "pancet" berarti "tetap sama" ((bahasa Jawa standar: tetep);
·       "iwak" berarti "lauk" (bahasa Jawa standar: lawuh, "iwak" yang dimaksud disini adalah lauk-pauk pendamping nasi ketika makan, "mangan karo iwak tempe", artinya Makan dengan lauk tempe, dan bukanlah ikan (iwak) yang berbentuk seperti tempe);
·       "engkuk" (u diucapkan o) berarti "nanti" (bahasa Jawa standar: mengko);
·       "ndhek" berarti "di" (bahasa Jawa standar: "ing" atau "ning"; dalam bahasa Jawa standar, kata "ndhek" digunakan untuk makna "pada waktu tadi", seperti dalam kata "ndhek esuk" (=tadi pagi),"ndhek wingi" (=kemarin));
·       "nontok" lebih banyak dipakai daripada "nonton";
·       "yok opo" (diucapkan /y@?@p@/) berarti "bagaimana" (bahasa Jawa standar: "piye" atau *"kepiye"; sebenarnya kata "yok opo" berasal dari kata "kaya apa" yang dalam bahasa Jawa standar berarti "seperti apa")
·       "peno"/sampeyan (diucapkan pe n@; samp[e]yan dengan huruf e seperti pengucapan kata meja) artinya kamu
·       "jancuk" ialah kata kurang ajar yang sering dipakai seperti "fuck" dalam bahasa Inggris; merupakan singkatan dari bentuk pasif "diancuk"; variasi yang lebih kasar ialah "mbokmu goblok"; oleh anak muda sering dipakai sebagai bumbu percakapan marah
·       "waras" ialah sembuh dari sakit (dlm bahasa jawa tengah sembuh dari penyakit jiwa)
·       "embong" ialah jalan besar / jalan raya
·       "nyelang" arinya pinjam sesuatu
·       "parek/carek" artinya dekat
·       "ndingkik" artinya mengintip
·       "semlohe" artinya sexy (khusus untuk perempuan)
"jancuk" dari kata 'dancuk' dan turunan dari 'diancuk' dan turunan dari 'diencuk' yg artinya 'disetubuhi' ('dientot' bahasa betawinya). Orang Jawa (golongan Mataraman) pada umumnya menganggap dialek Suroboyoan adalah yang terkasar, namun sebenarnya itu menujukkan sikap tegas, lugas, dan terus terang. Sikap basa basi yang diagung-agungkan Wong Jawa, tidak berlaku dalam kehidupan Arek Suroboyo. Misalnya dalam berbicara, Wong Jawa menekankan tidak boleh memandang mata lawan bicara yang lebih tua atau yang dituakan atau pemimpin, karena dianggap tidak sopan. Tapi dalam budaya Arek Suroboyo, hal tersebut menandakan bahwa orang tersebut sejatinya pengecut, karena tidak berani memandang mata lawan bicara. Tapi kata jancuk juga dapat diartikan sebagai tanda persahabatan. Arek-arek Suroboyo apabila telah lama tidak bertemu dengan sahabatnya jika bertemu kembali pasti ada kata jancuk yang terucap, contoh: "Jancuk piye khabare rek suwi gak ketemu!" Jancuk juga merupakan tanda seberapa dekatnya Arek Suroboyo dengan temannya yang ditandai apabila ketika kata jancuk diucapkan obrolan akan semakin hangat. Contoh: "Yo gak ngunu cuk critane matamu mosok mbalon gak mbayar".
Selain itu, sering pula ada kebiasaan di kalangan penutur dialek Surabaya, dalam mengekspresikan kata 'sangat', mereka menggunakan penekanan pada kata dasarnya tanpa menambahkan kata sangat (bangat atau temen) dengan menambahkan vokal "u", misalnya "sangat panas" sering diucapkan "puanas", "sangat pedas" diucapkan "puedhes", "sangat enak" diucapkan "suedhep". Apabila ingin diberikan penekanan yang lebih lagi, vokal "u" dapat ditambah.
·       Hawane puanas (udaranya panas sekali)
·       Sambele iku puuuedhes (sambal itu sangat sangat pedas sekali)
Selain itu. salah satu ciri lain dari bahasa Jawa dialek Surabaya, dalam memberikan perintah menggunakan kata kerja, kata yang bersangkutan direkatkan dengan akhiran -no. Dalam bahasa Jawa standar, biasanya direkatkan akhiran -ke
·       "Uripno (Jawa standar: urip-ke) lampune!" (Hidupkan lampunya!)
   "Tukokno (Jawa standar: tukok-ke) kopi sakbungkus!" (Belikan kopi sebungkus!)

c.       Perbedaan
Perbedaan antara bahasa Jawa standar dengan bahasa Jawa Surabaya tampak sangat jelas berbeda dalam beberapa kalimat dan ekspresi seperti berikut :
·       Bahasa Jawa Surabaya : He yo'opo kabare rek?
·       Bahasa Jawa standar  : Piye kabare cah?
·       Bahasa Indonesia  : Apa kabar kawan?

·       Bahasa Jawa Surabaya : Rek, koen gak mangan a?
·       Bahasa Jawa standar  : Cah, kowe ra podho maem to?
·       Bahasa Indonesia  : Kalian tidak makan?

·       Bahasa Jawa Surabaya : Ton(nama orang), celukno Ida(nama orang) po'o
·       Bahasa Jawa standar  : Ton, undangke Ida
·       Bahasa Indonesia  : Ton, panggilkan Ida dong

Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, ada yang mengatakan hubungan bahasa dan budaya itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terkait erat, seperti hubungan antara sisi yang satu dengan sisi yag lain pada sekeping mata uang logam. Jadi pendapat ini mengatakan bahasa dan budaya merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yag sangat kontroversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Karena itu hipotesis ini dikenal dengan nama Sapir-Whorf, dan lazim juga disebut relativitas bahasa. Didalam hipotesis ini dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, oleh karena itu mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali.
Subyek penelitian ini adalah warga Gading Karya I Surabaya yaitu sebanyak 52 kepala keluarga. Penelitian ini dilakukan di Gading Karya I, RT.04 RW.07, kelurahan Gading, kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya.
Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatan pengumpulan data, agar kegiatan tersebut berjalan dengan sistematis (Djojosuroto dkk, 2004:46). Pemilihan instrument adalah untuk mendukung pengguanaan metode dalampengumpulan data. Semua dalam penelitian ini disiapkan dan dirancang denagan matang untuk mendapakan data yang mendukung penelitian ini. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
a.         Pedoman wawancara
Pedoman wawancara digunakan untuk mencari informasi-informasi dari warga Gading Karya I Surabaya.
b.      Pedoman observasi berupa lembar panduan observasi yang digunakan untuk mencari data melalui observasi. Observasi dilakukan pada saat terjadinya interaksi antar warga.
Analisis data adalah sebagai bagian dari proses penyajian data yang hasilnya digunakan sebagai bukti yang memadai untuk menarik kesimpulan penelitian (Arikunto,1993:19)
Menurut Bogdan (1982) dalam Sugiyono (2007:88) analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
Menurut Miles dan Hubeman (1982) dalam Sugiyono (2007:91) mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga data sudah jenuh.
Adapun langkah-langkah teknis analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Reduksi Data
Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Untuk itu perlu dilakukan analisis data melalui reduksi data. Menurut Sugiyono (2007:92). Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan megorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.
Cara mereduksi data :
-          Menyeleksi data
-          Meringkas data
-          Menggolongkan data
2.      Penyajian Data
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penyajian data. Menurut Sugiyono (2007:95). Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif berdasarkan catatan di lapangan.
3.      Verifikasi
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut Miles dan Hubeman dalam Sugiyono (2007:99) adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Upaya penarikan kesimpulan dilakukan peneliti secara terus-menerus selama berada di lapangan. Kesimpulan-kesimpulan itu juga terus diverifikasi peneliti selama penelitian itu berlangsung, dengan cara :
-          Memikir ulang selama penulisan.
-          Tinjauan ulang catatan lapangan.
-          Tinjauan kembali dan tukar pikiran antar teman.

Simpulan
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia, oleh karena itu mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaan bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. 
Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.

Share:

4 komentar

  1. Beberapa analisis bahasa di atas ketika membandingkan antara bahasa Jawa Suroboyoan dan Bahasa Jawa Standar terlalu menggunakan Jawa Tengah sebagai standar bahasa. Padahal banyak istlah Suroboyoan di atas dipergunakan secara luas oleh orang Jawa Mataraman. Hal iti terjadi karena bahasa Jawa Tengah sebenarnya adalah bahasa Jawa yang sudah mengalami evolusi, namun karena kuatnya kraton sebagai patron budaya Jawa seolah bahasa tersebut menjadi bahasa standar bahasa Jawa. Jika dilihat kembali, bahasa Jawa di Jawa Timur mungkin adalah bahasa Jawa lama yang digunakan sebelum adanya upaya untuk rekayasa bahasa oleh kalangan Kraton di Jawa Tengah. Kata lading,deleh, cangkruk, gae, ae, mari, maem. Mungkin sebaiknya dicek ke Kamus Bahasa Jawa Kuno untuk mengecek istilah asli bahasa Jawa sebelum adanya evolusi bahasa di Jawa Tengah.

    BalasHapus
  2. Tambahan, istilah gae, ae, mari dalam pengertian sudah, lading, deleng digunakan luas di wilayah Mataraman, seperti Kediri. Mungkin ini masukan agar juga mempertimbangkan bahasa Jawa lama, bukan hanya Jawa versi Jawa Tengahan untuk menyebut bahasa Jawa Standar. Saya punya pengalaman ketika mencoba melacak kata keduhung (dalam lagi Banyuwangi) karena bagi orang Kediri tidak familier, tetapi ternyata orang Tegal dan Cirebon paham kata tersebut. Hal itu menunjukkan adanya kesamaan kosa kata antara Jawa bagian Timur dan Jawa Bagian Barat yang tidak dipahami oleh orang Jawa Tengah (Semarang).

    BalasHapus
  3. Memang untuk menetapkan tolak ukur atau standarisasi sebuah bahasa itu sulit sekali, karena bahasa disepakati bersama di setiap daerah. Terima kasih atas koreksi dan masukkannya mbak.

    BalasHapus
  4. CV Bahagia Sukses Makmur menerima jasa pembuatan Blower Industri yang berbagai macam tipe dan harga terjangkau yang pastinya memiliki kualitas produk yang sangat baik. Perusahaan kami sudah tersebar luas dan sudah memiliki konsumen lebih dari seribu dan kami menerima pesanan diseluruh Indonesia, sebagai Perusahaan Swasta kami CV Bahagia Sukses Makmur selalu siap memberikan pelayanan yang terbaik karena bagi kami kepuasan konsumen nomer satu.

    Hal tersebut juga termasuk memberi pelayanan dengan produk kami yang terbaik yaitu "Blower Centrifugal, Blower Axial Fan, dan Blower Portable Ventilator" dan pelayanan service untuk menunjang untuk kuaitas produk anda menjadi lebih baik.
    Blower yang memiliki fungsi menghisap udara panas, debu, juga berfungsi sebagai alat ventilasi / sirkulasi udara.

    Kantor Pemasaran:
    081316140397
    Kantor Pusat :
    Jl. Cendana raya no 15A bencongan indah karawaci tangerang
    https://jualblowerjakarta12.blogspot.com/
    https://medium.com/@jualblowertangerang/

    BalasHapus